Diskusi Thinker’s Talk Sastra Inggris UNPAM: “Systemic Functional Grammar: Teori dan Praktiknya dalam Penelitian Bahasa”

  • Bagikan

Sastra Inggris Universitas Pamulang bekerjasama dengan Kliksaja.co, U’LCEE dan Bakhtin Institute for Language and Cultural Studies menyelenggarakan forum diskusi lintas perspektif Thinker’s Talk dengan tema: “Systemic Functional Linguistics: Teori dan Praktiknya dalam Penelitian Bahasa” pada Kamis (31/04/2022). Diskusi kali ini menghadirkan Sukma Septian Nasution, S.Pd, M.Pd., sebagai narasumber yang mengulas cara kerja analisis fungsional dalam penelitian bahasa dan Purwanti Taman, S.Pd., M.Pd., sebagai moderator.

Mengawali presentasi materinya, Nasution mendefinisikan Systemic Functional Linguistics sebagai sebuah pendekatan bahasa yang digunakan untuk menganalisis bagaimana bahasa itu digunakan dalam berbagai konteks yang ada di dalam interaksi social sehari-hari, baik dalam bentuk ucapan maupun tulisan.

Di dalam definisi ini, systemic diartikan sebagai keseluruhan, sedangkan functional merupakan sesuatu yang bisa digunakan atau diaplikasikan di dalam berbagai macam bidang keilmuan. Sehingga, SFL bisa dikategorikan sebagai analisis multifungsi dan menyeluruh terhadap fenomena kebahasaan baik dalam bentuk ucapan maupun tulisan.

Setelah itu, Nasution menjelaskan asumsi dasar dan kerangka paradigmatik yang melandasi cara kerja analisis kebahasaan ala SFL. Menurut Nasution, dalam SFL, bahasa tidak dilihat sebagai sebuah sistem yang terpisah dari unsur-unsur kebudayaan. Cara pandang kebahasaan yang memisahkan bahasa dari budaya secara umum biasanya dianut oleh tata bahasa model Noam Chomsky.

Sebaliknya, SFL, kata Nasution, menegaskan bahwa bahasa merupakan bagian dari sistem kebudayaan. Melalui asumsi awal ini, bahasa dengan segala produknya tidak lahir dari ruang kosong melainkan lahir dari konteks sosial tertentu dan memainkan peranan sosial tertentu. Konstruk nalar seperti ini terefleksikan dalam grammar.

“Grammar menurut SFL diperlakukan sebagai cara untuk mempelajari bahasa, belajar lewat bahasa dan belajar tentang bahasa,” papar Nasution.

Setelah menjelaskan asumsi dasar SFL, Nasution kemudian membandingkan ciri-ciri pembeda yang melandasi cara kerja SFL dibanding dengan cara kerja analisis kebahasaan ala Traditional Grammar dan Formal Grammar. “Traditional Grammar digunakan untuk menganalisis kelas kata dan kaidah-kaidah standar bahasa Inggris dan membandingkannya dengan bahasa Latin. Formal Grammar dipakai untuk menganalisis struktur suatu kalimat. Sementara itu, SFL berbeda dari dua pendekatan ini karena cara kerjanya ialah mendeskripsikan bahasa dalam aspek penggunaannya: teks yang dikaitkan dengan konteksnya, dan itu sangat komperehensif,” jelas Nasution. Tentu kata teks di sini tidak dipahami dalam pengertian biasa: bahasa tulis. Teks dalam SFL meliputi bahasa tulis dan bahasa lisan.

Nasution juga menjelaskan beberapa elemen dasar dalam pemikiran kebahasaan SFL. Salah satunya ialah context of situation yang meliputi field, tenor dan mode. Field merupakan apa yang akan dibicarakan atau ditulis dalam lingkup sebuah konteks atau tujuan panjang dan pendek dari teks. Sedangkan tenor ialah hubungan antara pembicara dan pendengar (atau, tentu saja, antara penulis dan pembaca) dan Mode ialah jenis teks yang dibuat.

Karena SFL berangkat dari analisis fungsional, Nasution kemudian menjelaskan bagaimana bahasa difungsikan dalam SFL. Pertama, bahasa difungsikan secara ideasional-eksperiensial, language as representation of experience, yang meliputi di dalamnya sistem transitivitas. Kedua, bahasa difungsikan sebagai pertukaran atau interaksi pengalaman. Ketiga, bahasa difungsikan sebagai wadah sebuah informasi atau ide.

Untuk fungsi pertama, konsep paling penting ialah transitivitas. Kata transitivitas dalam SFL menurut Septian tidak dipahami sebagai verb yang memungkinkan adanya objek. Pendekatan SFL memandang bahwa transitivitas adalah representasi pengalaman manusia dalam bahasa yang direalisasikan dengan bentuk pengalaman linguistik. Satu unit pengalaman linguistik yang sempurna direalisasikan dalam bentuk tata bahasa yang berupa klausa.

Pengalaman linguistic ini direalisasikan ke dalam tiga konstituen, yakni proses, semacam kelompok kata kerja; partisipan, semacam kelompok nomina, dan sirkumstans, semacam frasa preposisi atau kelompok nomina yang difungsikan sebagai adverbial dalam tata bahasa tradisional.

Dalam bahasa Inggris, jelas Nasution, ada enam tipe proses: material (proses mengerjakan atau tindakan fisik seperti menendang, memukul,), mental (proses yang meliputi persepsi, kognisi dan afeksi seperti berpikir, merasa), behavioral (proses berperilaku seperti senyum, tertawa, nangis), relasional (atributif dan identifikatif seperti adalah, menjadi, nampak dll), dan eksistensial (proses yang menunjukan keberadaan seperti kata kerja ada). Perlu diingat bahwa kata proses di sini ialah sama dengan kata kerja dalam tatabahasa tradisional.

Lihat lebih lengkapnya di video berikut ini:

  • Bagikan