Politik Indonesia: Who Gets What, When, and How

  • Bagikan

Praktik politik di Indonesia tampak seperti apa yang dituliskan oleh Harold Dwight Laswell pada tahun 1935 silam. Bukunya yang berjudul “Who Gets What, When, How” menjadi relevan dengan perilaku aktor-aktor politik di Indonesia.

Politik adalah soal siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana caranya. Kata “Who” berkaitan dengan aktor politik, “What” berkaitan dengan tujuan, “When” dan “How” berkaitan dengan strategi.

“Who Gets What, When, and How” dalam teori Laswell sebenarnya tidak hanya terkait kekuasaan an sich. Konteks tujuan dalam kata “What” bisa berarti hal-hal yang lain, seperti keadilan, kebenaran, dan lain-lain.

Namun, dalam praktik politik di Indonesia yang diperankan para politisi dan partai politik, teori ini akan mengerucut pada satu kata: kekuasaan.

Di Nusantara, jauh hari sebelum Laswell menulis “Who Gets What, When, How,” peristiwa tentang bagaimana cara mendapatkan kekuasan dipraktikkan dengan sangat baik oleh Ken Arok.

Ia membunuh Akuwu Tunggul Ametung dan menguasai Tumapel, sebuah daerah yang masuk dalam Kerajaan Kediri.

Pramoedya Ananta Toer menuliskan cerita “kudeta” Ken Arok ini dalam roman Arok Dedes. Mula-mula, Arok memamerkan sebuah keris yang sangat indah buatan Mpu Gandring kepada Kebo Ijo,punggawa Tumapel yang hebat dan suka pamer.

Melihat keris yang indah itu, Kebo Ijo tertarik, dan Ken Arok dengan senang hati meminjamkan keris kepada sang punggawa.

Lalu Kebo Ijo pamerkan keris buatan Mpu Gandring itu ke seantreo Tumapel. Ia tidak tahu sebenarnya telah terperangkap dalam strategi Ken Arok untuk merebut Tumapel.

Hingga pada suatu malam, Ken Arok mengambil keris dari Kebo Ijo yang tengah tertidul lelap secara diam-diam. Lalu, ia masuk ke kamar Tunggul Ametung dan menusukkan keris kepada sang Akuwu. Keris Mpu Gandring itu ditinggal oleh Ken Arok menancap di tubuh Tunggul Ametung.

Ketika pagi tiba, Tumapel geger, Sang Akuwu telah terbunuh tanpa diketahui siapa pembunuhnya. Hingga kemudian Ken Arok tampil di depan warga menanyakan siapa pemilik keris yang menancap di tubuh sang Akuwu. Warga Tumapel menjawab kalau keris itu milik Kebo Ijo.

Sebagai orang kepercayaan Tunggul Ametung, Ken Arok pun kemudian membunuh Kebo Ijo sebagai hukuman.

Setelah itu, Ken Arok tampil sebagai pemimpin di Tumapel dan menjadi awal sejarah dari lahirnya Kerajaan Singasari.

Peristiwa perebutan kekuasaan seperti yang ditampilkan oleh Ken Arok sebenarnya bukan fenomena yang aneh di Indonesia. Hanya saja caranya yang berbeda-beda.

Naiknya Jenderal Soeharto sebagai presiden diawali dengan lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).

Supersemar yang awalnya hanya perintah untuk memulihkan keamanan pasca G30SPKI, pelan-pelan digunakan untuk mengambil alih kepemimpinan dari Soekarno.

Praktik-praktik merebut kekuasaan juga terjadi di partai politik. Perebutan itu kerap menimbulkan dualisme di tubuh partai, seperti yang pernah terjadi pada Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Perjuangan (PDI), dan partai-partai yang lain.

KLB Partai Demokrat

Kasus terbaru yang terjadi yang bisa dianggap relevan dengan torinya Laswell adalah Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang terjadi di Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (05/03/2021).

KLB tersebut menghasilkan sosok Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebagai ketua umum partai dan Marzuki Alie sebagai ketua dewan pembina partai.

Akibat KLB tersebut, jadilah Partai Demokrat terbelah menjadi dua, kubu AHY dan kubu Moeldoko.

Relevansi teori Laswell dengan peristiwa ini berkaca pada pendapat para pengamat yang menyatakan ada motif tertentu dari sosok Moeldoko dalam menguasai Partai Demokrat.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin menilai ada niat dari Moeldoko untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden di 2024. Dengan mengambil alih Partai Demokrat, peluang Moeldoko untuk maju semakin besar.

“Saya melihat rangkaian, rangkaian niat (Moeldoko) untuk bisa Capres atau Cawapres 2024. Jadi Kalau Demokrat berhasil diambil alih, maka dia (Moeldoko) punya tiket untuk itu, saya melihat seperti itu,” kata Ujang yang dikutip dari suara.com, Sabtu (06/03/2021).

Ujang mengatakan niat Moeldoko untuk maju sebagai peserta dalam Pilpres 2024 pernah disampaikan oleh salah satu staf Moeldoko di KSP.

“Sederhana saja, 2019 lalu, saya sudah mendengar dari stafnya di KSP, saya tidak sebutkan namanya, bahwa dia (Moeldoko) itu akan nyapres di 2024 itu. Artinya kalau dia nyapres, butuh kendaraan, butuh tiket,” lanjut Ujang.

Sementara itu John McBeth, jurnalis asal Selandia Baru, yang dilansir dari kompas.com, mengatakan motif lain dari Moeldoko selain menjadi Presiden adalah keinginan pemerintah untuk menguasai parlemen.

Dengan menguasai Partai Demokrat di parlemen, menurut McBeth, upaya untuk mengamankan tujuan amendemen UUD 1945 yang di antaranya pernah diwacanakan untuk mengembalikan GBHN di dalamnya sebagai arah pembangunan nasional menjadi semakin mudah.

Selain itu juga untuk memuluskan wacana tiga periode masa jabatan Presiden Joko Widodo.

“Sejumlah pengamat menyatakan adanya skenario yang memberikan peluang bagi Jokowi untuk memperpanjang masa jabatannya hingga periode ketiga. Adapun dalam konstitusi sekarang, masa jabatan presiden dibatasi hingga dua periode,” tutur McBeth dalam analisisnya di Asia Times. (*)

  • Bagikan